top of page

Rangkaian Proses Pernikahan Adat Bugis dan Filosofinya



Sampai saat ini, masyarakat Sulawesi Selatan masih mempertahankan tradisi pernikahan adat Bugis. Ini dikarenakan bagi mereka, pernikahan bukan sekedar penyatuan dua insan, melainkan momen sakral  yang menandakan babak baru dalam kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, pelaksanaannya tidak boleh dilakukan sembarangan.

Adapun rangkaian acara pernikahannya mengandung nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun dalam masyarakatnya. Dimulai dari tahap penjajakan, lamaran, hingga akad nikah dan resepsi, setiap momennya memiliki makna dan tujuan yang mendalam. Contoh nilai yang dicerminkan adalah mappadeceng (kesetaraan dan keseimbangan).

Untuk memahami proses pernikahan adat ini lebih lanjut, berikut ulasan lengkap mengenai tahapan acara serta makna yang terkandung di dalamnya.

Prosesi Pernikahan Adat Bugis

Mammanu’manu’

Tahap pertama adalah mammanu'manu', yakni ketika pihak orang tua dari calon mempelai pria berusaha mencarikan jodoh terbaik bagi anak mereka dengan memperhatikan sejumlah kriteria. Bisa juga pihak pria mencari sendiri calon yang ia inginkan, lalu menyampaikan pilihannya pada keluarga untuk dinilai.

Mappese-pese

Apabila sang pria dan orang tuanya telah mencapai persetujuan, akan dilakukan penyelidikan mengenai latar belakang dari gadis yang dituju untuk mengetahui dengan jelas apakah perempuan tersebut bisa dipinang atau tidak. Ini dilakukan dengan mengirim perwakilan keluarga untuk bertamu ke rumah pihak perempuan. Kunjungan ini tentu tidak boleh dilakukan dengan tangan kosong, pihak pria harus membawa buah tangan untuk menunjukkan niat baik.

Massuro atau Madduta

Setelah pertemuan pertama selesai dan pihak perempuan memberi lampu hijau, akan dilakukan pertemuan kedua yang dikenal sebagai tahap massuro atau lamaran. Pihak pria akan mengutus mabbaja laleng atau perintis jalan untuk membicarakan tentang besaran jumlah uang panai dan detail lainnya terkait pernikahan.

Adapun nominal uang panai biasanya bergantung pada status sosial calon pengantin wanita. Jumlahnya bahkan bisa lebih besar dari mahar. Karena itu selama proses massuro akan berlangsung tawar menawar dengan bahasa Bugis yang sangat halus. Perintis jalan harus memiliki kemampuan bernegosiasi untuk mencapai jalan tengah yang baik bagi kedua belah pihak.

Mappettu Ada

Tahap berikutnya dalam rangkaian proses pernikahan adat Bugis adalah mappettu ada. Ini merujuk pada diskusi mengenai segala hal tentang keperluan pernikahan, yakni tanra esso (tanggal pelaksanaan pernikahan), sompa (mahar), hingga doi menre (uang belanja). Lalu, berlangsung juga pemberian hantaran berupa perhiasan untuk calon mempelai perempuan.

Sebagai catatan, uang belanja berbeda dengan uang panai dan uang mahar. Ini merupakan uang yang diberikan pihak pria kepada perempuan khusus untuk keperluan biaya pernikahan. Besarnya bergantung pada strata sosial sang perempuan, jenjang pendidikannya, hingga citra keluarganya di lingkungan masyarakat setempat.

Mappasau Botting

Prosesi selanjutnya adalah ritual perawatan yang dilakukan oleh calon mempelai perempuan alias mappasau botting. Ini biasanya berlangsung selama tiga hari berturut-turut sebelum hari H tiba. Calon mempelai akan 'dibersihkan' dengan menggunakan ramuan daun pandan yang masih mengeluarkan uap panas.

Proses mandi uap ini bertujuan untuk mengeluarkan seluruh keringat yang tidak baik dari tubuh. Secara simbolis, daun pandan diyakini sebagai bentuk pengharuman dan keharmonisan biduk rumah tangga. Setelah itu, ia akan memakai bedak hitam yang terdiri dari jeruk nipis dan asam jawa. Tujuannya adalah agar kulitnya terlihat bersih dan bercahaya pada hari pernikahan.

Mappanre Temme

Tahap selanjutnya adalah ritual mappanre temme, yakni memberi makanan kepada orang yang berhasil khatam Al-Qur'an sebagai bentuk apresiasi. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh calon pengantin pada sore hari sebelum hari pernikahan tiba. Sebelum membagikan makanan, calon mempelai terlebih dahulu akan membuka acara dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Mappacci

Di malam harinya, ada ritual mappacci untuk menyucikan jiwa dan raga kedua calon mempelai dari segala keburukan yang pernah dilakukan. Mereka akan dijemput dan diantar ke ke atas pelaminan yang sudah dipenuhi oleh deretan perlengkapan ritual. Ini meliputi bantal, sarung, daun nangka, daun pisang, sepiring padi, lilin, daun pacci, dan bekkeng atau tempat logam.

Lalu, seluruh kerabat yang hadir harus mengusapkan daun pacci ke telapak tangan calon pengantin. Jika ada tamu yang hadir, maka mereka juga akan melakukan hal yang sama. Selain untuk menghapus energi buruk, ritual ini juga merupakan simbol dari pemberian doa restu atas pernikahan yang akan berlangsung.

Mappasili

Setelah mappacci selesai, ritual berikutnya adalah siraman atau mappasili. Air siraman yang digunakan akan diambil langsung dari tujuh sumber mata air berbeda. Lalu, di dalamnya ada tujuh macam bunga serta taburan koin. Nantinya, air sisa siraman akan diperebutkan oleh para tamu yang belum menikah agar mereka mendapat kemudahan untuk mendapatkan jodoh.

Adapun proses siraman ini bertujuan untuk membersihkan raga calon pengantin sekaligus melindungi mereka dari segala malapetaka yang tidak diinginkan. Bisa dibilang ini merupakan ritual tolak bala dalam rangkaian pernikahan adat Bugis.

Mappenre Boting dan Madduppa Boting

Selanjutnya, ada ritual mappenre boting, yakni prosesi pengantaran mempelai pria ke rumah sang mempelai wanita. Dalam rombongan yang mengantar ini orang tua sang pria tidak akan ikut. Ini merupakan simbol bahwa mereka telah melepaskan sang anak untuk membangun rumah tangganya sendiri.

Sesampainya di rumah calon mempelai wanita, ada ritual penyambutan kedatangan mempelai pria alias madduppa boting. Ini dilakukan oleh dua orang remaja perempuan dan laki-laki, wakil orang tua dari mempelai perempuan, dan seorang penebar wenno. Sementara calon mempelai wanita tidak boleh bertemu dengan calon suaminya hingga akad nikah selesai.

Mappasikarawa

Setelah akad nikah berlangsung, mempelai pria akan dituntun menuju kamar pengantin untuk menemui mempelai perempuan yang telah menjadi istrinya. Ia terlebih dahulu harus mengetuk pintu untuk meminta izin memasuki kamar. Momen pertemuan kedua mempelai setelah sah menjadi suami istri ini merupakan puncak dari ritual mappasikarawa.

Ritual kemudian berlanjut menuju sentuhan pertama oleh mempelai pria di area pundak mempelai perempuan. Ini merupakan simbolisme dari kesetaraan dalam biduk rumah tangga. Kemudian, sentuhan berlanjut ke area ubun-ubun, dada, atau perut. Lalu, mereka akan dipakaikan sarung yang telah dijahit sebagai representasi dari doa agar kehidupan pernikahan keduanya selalu terjaga dan terhindar dari malapetaka. Setelah itu, keduanya akan melakukan sungkem ke pihak orang tua atau orang yang dituakan.

Mapparola

Proses selanjutnya adalah mapparola, yakni kunjungan balasan dari mempelai perempuan ke kediaman suaminya. Ia akan datang sambil membawa membawa sarung tenun sebagai bentuk hadiah pernikahan bersama iring-iringannya.

Ziarah dan Massita Baseng

Terakhir, pasangan suami istri baru akan melakukan ziarah ke makam leluhur setelah upacara pernikahan berakhir sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah tiada. Setelah itu, mereka akan melangsungkan massita beseng atau pertemuan dua keluarga untuk mempererat tali silaturahmi.

Begitulah proses pernikahan adat Bugis yang panjang dan rumit, tetapi sarat akan makna filosofis. Apabila kamu dan pasangan ingin menyelenggarakan pernikahan adat Bugis yang penuh makna namun tetap dengan harga terjangkau, kamu bisa berkonsultasi gratis dengan tim Yes I Do. Tim Yes I Do akan membantu kamu merancang dan mewujudkan penrikahan impian kamu dengan berbagai all-in package wedding yang bisa kamu pilih. Hubungi tim Yes I Do di sini sekarang!


Wujudkan pernikahan impianmu

oranment-ring.png

Temukan inspirasi pernikahan, vendor, dan venue dengan harga terbaik.

Berhasil submit nomor handphone. Terima kasih.
Nomor handphone tidak boleh kosong
bottom of page